Pada artikel ini kita akan meninjau kembali pemahaman tawakkal kita. Apakah kita sudah memahaminya seperti yang dipahami oleh generasi pertama dalam Islam, yaitu generasi para sahabat, dan sudahkah kita melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari? Amal ibadah ini pun sebenarnya masuk ke dalam amalan pembuka pintu rezeki. Namun sebelum kita membahas lebih spesifik masalah tersebut, kita akan membahas terlebih dahulu mengenai pengertian tawakkal.
Definisi Tawakkal
Tawakkal berasal dari lafadz Tawakkala, Yatawakkalu, Tawakkulan, yang berarti menjadikan pihak lain sebagai wakîl, atau zat yang mewakili diri seseorang dalam urusan tertentu. Ia adalah lafadz yang diambil dari lafadz wakâlah. Ada juga orang yang menggunakan: Wukkila Amruhû Ilâ Fulân (urusannya diserahkan kepada Fulan). Orang yang diserahi urusan tersebut bisa disebut Wakîl, sedangkan orang yang menyerahkan urusan disebut Muttakil ‘Alayh dan Mutawakkil ‘Alayh, yaitu ketika orang tersebut merasa puas pada pihak yang mewakilinya, mempercayainya, dan tidak mempunyai persepsi bahwa pihak yang mewakilinya itu mempunyai kekurangan. Artinya, orang tersebut mempunyai keyakinan bahwa pihak yang mewakili tersebut tidak mempunyai kelemahan atau kekurangan. Itulah pengertian tawakkal secara etimologis.
Definisi Tawakkal
Tawakkal berasal dari lafadz Tawakkala, Yatawakkalu, Tawakkulan, yang berarti menjadikan pihak lain sebagai wakîl, atau zat yang mewakili diri seseorang dalam urusan tertentu. Ia adalah lafadz yang diambil dari lafadz wakâlah. Ada juga orang yang menggunakan: Wukkila Amruhû Ilâ Fulân (urusannya diserahkan kepada Fulan). Orang yang diserahi urusan tersebut bisa disebut Wakîl, sedangkan orang yang menyerahkan urusan disebut Muttakil ‘Alayh dan Mutawakkil ‘Alayh, yaitu ketika orang tersebut merasa puas pada pihak yang mewakilinya, mempercayainya, dan tidak mempunyai persepsi bahwa pihak yang mewakilinya itu mempunyai kekurangan. Artinya, orang tersebut mempunyai keyakinan bahwa pihak yang mewakili tersebut tidak mempunyai kelemahan atau kekurangan. Itulah pengertian tawakkal secara etimologis.
Tawakkal ini merupakan ungkapan kalbu kepada al-Wakîl (Zat Yang Maha Kuasa untuk mewakili segala urusan). Atau dengan kata lain, ia merupakan kepasrahan hati secara bulat pada Allah terhadap kemaslahatan yang ingin diraih serta mudarat yang ingin dihindari, baik dalam masalah dunia maupun akhirat. Al-Alûsi mendefinisikan tawakkal sebagai sikap menampakkan kelemahan dan ketergantungan pada yang lain, serta merasa cukup hanya kepada-Nya dalam melakukan aktivitas yang diperlukannya. Karena itu,al-Ghazâli menjelaskan:
“Keadaan orang yang bertawakkal pada Allah adalah seperti keadaan bayi dengan ibunya. Bayi tidak pernah mengetahui yang lain, serta tidak pernah menyerahkan urusannya kecuali pada ibunya. Ibulah orang yang pertama kali dia bayangkan ketika dia membayangkan yang lain. Ini artinya dia tidak bisa berdo’a dan meminta kepada yang lain, selain Allah. Yang pertama kali dimintai pertolongan adalah Allah, karena keyakinannya pada kemuliaan dan kasih sayang-Nya.” (Mukhthshar Ihya Ulumuddin)
Jika kita menyakini, bahwa di balik kekuatan manusia, alam dan kehidupan tersebut ada Zat Yang Maha Kuasa, yang menguasai seluruhnya, yang mampu membantu kita merealisasikan cita-cita kita, maka pemahaman ini akan mampu membangkitkan keyakinannya dalam merealisasikan seluruh cita-cita. Dengan pemahaman seperti ini, seseorang akhirnya merasa tidak terbatas, karena dia berkeyakinan bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang bisa membantunya untuk mencapai apa yang ingin diraihnya.
Inilah konsepsi tawakkal yang telah difahami dengan benar oleh kaum muslimin generasi pertama. Mereka memahami konsep tersebut dengan pemahaman yang benar, sehingga mampu melakukan tuntunan tawakkal tersebut dengan benar. Mereka akhirnya mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dan memecahkan berbagai masalah yang sangat sulit. Berbeda dengan kaum muslimin saat ini, terutama setelah budaya materialistik dan hedonistik berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat, sehingga mereka menjadi pragmatis. Tidak mengenal dan memahami konsep berserah diri kepada Allah dan pemahamannya menjadi lemah. Mereka jauh dari pemahaman yang benar mengenai konsep berserah diri, sehingga keyakinan tawakkal mereka ibarat ungkapan kosong yang tidak berarti. Karena tidak berarti maka sulit untuk menerapkannya dalam aktivitas sehari-hari.
Orang yang tidak beriman pada Allah SWT dan tidak punya konsep tawakkal saja bisa mempercayai, bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang sering mereka sebut sebagai kekuatan alam, yang bisa membantu mereka, sehingga mereka mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. Ketika mereka bisa mencapai hal-hal besar yang hampir mustahil, mereka sering menyebutnya sebagai miracle (mukjizat).
Lalu mengapa umat Islam yang mempunyai keyakinan kepada Allah banyak yang tidak seperti mereka? Padahal orang atheis yang tidak percaya pada Tuhan, dan tidak punya konsep tawakkal bisa melakukan seperti itu? Maka, masalahnya adalah karena mafhûm tawakkal umat ini memang sangat lemah. Karena itu, pemikiran mengenai tawakkal ini merupakan pemikiran yang perlu diluruskan.
Pemikiran Keliru Tentang Tawakkal
Pemikiran keliru yang pertama tentang tawakkal adalah "bahwa dengan tawakkal maka kita tidak perlu lagi berikhtiar. Atau berikhtiar ala kadarnya. Pemikiran seperti ini banyak sekali di benak masyarakat Islam."
Barangkali banyak yang terpengaruh dengan sebuah hadis yaitu “mengikat unta” yang disalahtafsirkan. Hadits ini justru difahami bahwa dengan tawakkal seseorang tidak perlu lagi melakukan hukum kausalitas atau tidak menjadikan hukum sebab-akibat sebagai bagian dari tawakkal sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Hadits tersebut dipahami sebagai pembenaran bahwa setelah bertawakkal seseorang tidak perlu lagi berikhtiar.
Padahal yang benar adalah sebaliknya, ikhtiar dengan tawakkal harus berjalan ber-iringan. Jadi tidak benar kalau kita menggantungkan atau menyerahkan urusan kita kepada Allah, lalu kita bisa bersantai-santai atau berharap Allah akan menyelesaikannya untuk kita tanpa ada usaha dari pihak kita.
Tawakkal kepada Allah SWT. telah dinyatakan dengan tegas oleh nash al-Qur’an yang qath’i. Allah SWT berfirman:
“Jika kamu ditolong oleh Allah, maka tidak akan ada yang mampu mengalahkan dan menghinakan kamu. Maka, siapakah yang dapat menolong kamu setelah (pertolongan) Allah? Dan kepada Allahlah orang-orang yang beriman hendaknya bertawakkal.” (Q.s. Ali Imrân: 160).
“Dan jika kamu mempunyai azam, maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (Q.s Al-Imrân:159).
“Katakanlah (Muhammad): ‘Kami tidak akan ditimpa musibah, kecuali apa yang telah Allah tetapkan kepada kami. Dialah Zat Yang menjadi Pelindung kami. Dan kepada Allah-lah orang-orang beriman hendaknya bertawakkal”. (Q.s. Taubah: 51).
“Allah (adalah Tuhan), tiada Zat yang berhak disembah kecuali Dia, kepada Allah-lah orang-orang beriman hendaknya bertawakkal.” (Q.s. At-Taghâbun: l3).
Itu semua merupakan ayat-ayat yang secara tegas menjelaskan, bahwa melakukan tawakkal kepada Allah itu wajib. Semuanya disertai dengan indikasi yang tegas, yaitu adanya pujian Allah kepada orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya, sebagai orang-orang yang Dia cintai. Disamping dalil-dalil di atas, juga ada dalil-dalil dari hadits yang mewajibkan kaum muslimin melakukan tawakkal kepada Allah, antara lain:
“Akan masuk surga dari kalangan umatku tujuh puluh ribu kelompok tanpa dihisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah mencuri, menjadi peramal, memuji dirinya dan orang-orang yang bertawakkal kepada Tuhannya.”
(H.R. Bukhâri dari Ibn Abbâs).
“Jika kamu bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberikan rizki kepada kamu sama seperti memberikannya kepada burung yang berangkat pagi dengan perut kosong kembali dengan kenyang.”
(H.R. At-Tirmidzi dan Ahmad).
Dengan adanya dalil-dalil di atas, seorang muslim tidak boleh ragu dalam bertawakkal kepada Allah SWT. Apabila ada orang yang tidak mau melakukannya berarti tidak mau menjalankan perintah Allah dan akan jatuh kepada dosa. Apalagi dalam perintah tawakkal kepada Allah tidak ada pengecualian, ia diperintahkan secara mutlak, sehingga setiap muslim wajib bertawakkal kepada-Nya tanpa terkecuali. Adapun hadits Nabi SAW. yang menyatakan:
“Ikatlah untamu, dan bertawakkallah (kepada Allah). . (HR Ibnu Hiban)
Hadits tersebut adalah hadits yang membahas kewajiban melakukan hukum sebab-akibat bersama-sama dengan kewajiban bertawakkal kepada Allah SWT. Isi yang lebih panjang mengenai hadits tersebut adalah berikut :
Badui bertanya,“Apakah unta itu dibiarkan saja depan pintu seraya bertawakkal kepada Allah? Ataukah harus diikat dahulu supaya tidak hilang?” Beliau saw. menjawab: “Ikatlah dan bertawakkal (kepada Allah)." (HR Ibnu Hiban)
Jadi, hadits di atas justru mengajarkan kepada orang Badui ini agar melakukan hukum sebab-akibat disamping bertawakkal kepada Allah SWT. Dengan kata lain, tidak cukup hanya bertawakkal kepada Allah saja, sedangkan hukum sebab-akibatnya ditinggalkan. Adapun hukum sebab-akibat yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah “mengikat unta supaya tidak hilang”. Jika unta tadi tidak diikat pasti akan lari dan hilang. Inilah pelajaran yang dikehendaki oleh Nabi saw. kepada orang Badui tersebut.
Pemikiran keliru yang kedua tentang tawakkal adalah,"Ikhtiar dulu, tawakkal belakangan."
Masih ada satu masalah yang banyak diperdebatkan oleh kaum muslimin; apakah tawakkal kepada Allah SWT dilakukan sebelum melakukan ikhtiar atau sebaliknya? Ada sebagian orang yang menggunakan hadits “Mengikat unta dan tawakkal” tersebut sebagai dalil untuk bekerja dahulu baru kemudian bertawakkal. Mereka melihat urutan dalam hadits tersebut, yaitu “Ikat dahulu dan bertawakkallah.” dimana pernyataan Nabi: “ikat dahulu” adalah wujud sebuah ikhtiar, sedangkan “bertawakkallah” adalah wujud sikap tawakkal kepada Allah SWT. Maka, hadits tersebut kemudian banyak difahami : ikhtiarlah dahulu lalu menyusul tawakkal.
Pemahaman seperti itu perlu dikoreksi kembali.
Pertama, tema pembahasan hadits tersebut adalah tentang pembahasan yang berkaitan dengan kewajiban melakukan hukum sebab-akibat, bukan kewajiban bertawakkal.
Sementara jika ada nash tertentu yang menjelaskan tema pembahasan tertentu berdasarkan sebab wurûd atau sebab nuzûl-nya, maka nash tersebut tidak bisa digunakan untuk menjelaskan makna lain, selain tema pembahasan tersebut.
Kedua, huruf waw dalam lafadz (ikatlah dan berserahdirilah) yang dianggap sebagai waw tartîb (yang menunjukkan urutan perintah) sesungguhnya bukan merupakan huruf waw tartîb, sehingga tidak bisa diartikan “ikhtiar dahulu, baru kemudian bertawakkal”.
Ketiga, jika hadits diatas diartikan seperti yang banyak diasumsikan orang, yaitu ikhtiar dahulu kemudian bertawakkal, maka pengertian tersebut pasti bertentangan dengan ayat al-Qur’an, yang secara qath’i menerangkan:
“Apabila kamu mempunyai azam, maka bertawakkallah kepada Allah.” (Q.S. Ali Imrân: 159).
Dari ayat tersebut didapati bahwa Allah secara tegas menerangkan, bahwa “azam’, “tawakkal” dan “ikhtiar” itu dilakukan secara bersama-sama. “Azam” dan “tawakkal” keduanya merupakan perbuatan hati, sementara “ikhtiar” adalah perbuatan fisik.”
Dengan demikian cara melakukan tawakkal yang sesuai dalil adalah dengan : azam, tawakkal dan ikhtiar secara berbarengan. Jika kita sudah memiliki azam, maka selanjutnya kita bertawakal kepada Allah. Maka dari itu tawakkal selalu menyertai ikhtiar kita di awal ikhtiar, di tengah ikhtiar sampai akhir dari ikhtiar kita. Sambil kita berikhtiar fisik, batin kita senantiasa bertawakal kepada-Nya. Karena ikhtiar itu aktivitas lahiriyah, sementara tawakkal itu aktivitas batiniyah. Keduanya berjalan secara berbarengan satu sama lain.
Dengan pemahaman seperti ini, maka umat Islam akan kuat dalam meraih cita-cita yang ingin dicapainya. Dan semakin tenang hatinya karena ia menyerahkan urusan kepada Zat yang sebaik-baik diserahi urusan. Demikian pembahasan masalah tawakal ini. Mengenai pembahasan tawakkal dengan rezeki secara spesifik insyaAllah akan dipaparkan pada lain kesempatan.
Wallahu a'lam bishowab
Jika Anda tertarik untuk membaca cara tawakal yang dapat melapangkan rezeki, maka Anda bisa mengunjungi pada tautan berikut ini : Tawakkal Untuk Melapangkan Rezeki
Referensi : Islam Politik & Spiritual karangan Hafidz Abdurrahman.
image source : infodakwahislam.wordpress.com
“Keadaan orang yang bertawakkal pada Allah adalah seperti keadaan bayi dengan ibunya. Bayi tidak pernah mengetahui yang lain, serta tidak pernah menyerahkan urusannya kecuali pada ibunya. Ibulah orang yang pertama kali dia bayangkan ketika dia membayangkan yang lain. Ini artinya dia tidak bisa berdo’a dan meminta kepada yang lain, selain Allah. Yang pertama kali dimintai pertolongan adalah Allah, karena keyakinannya pada kemuliaan dan kasih sayang-Nya.” (Mukhthshar Ihya Ulumuddin)
Jika kita menyakini, bahwa di balik kekuatan manusia, alam dan kehidupan tersebut ada Zat Yang Maha Kuasa, yang menguasai seluruhnya, yang mampu membantu kita merealisasikan cita-cita kita, maka pemahaman ini akan mampu membangkitkan keyakinannya dalam merealisasikan seluruh cita-cita. Dengan pemahaman seperti ini, seseorang akhirnya merasa tidak terbatas, karena dia berkeyakinan bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang bisa membantunya untuk mencapai apa yang ingin diraihnya.
Inilah konsepsi tawakkal yang telah difahami dengan benar oleh kaum muslimin generasi pertama. Mereka memahami konsep tersebut dengan pemahaman yang benar, sehingga mampu melakukan tuntunan tawakkal tersebut dengan benar. Mereka akhirnya mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dan memecahkan berbagai masalah yang sangat sulit. Berbeda dengan kaum muslimin saat ini, terutama setelah budaya materialistik dan hedonistik berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat, sehingga mereka menjadi pragmatis. Tidak mengenal dan memahami konsep berserah diri kepada Allah dan pemahamannya menjadi lemah. Mereka jauh dari pemahaman yang benar mengenai konsep berserah diri, sehingga keyakinan tawakkal mereka ibarat ungkapan kosong yang tidak berarti. Karena tidak berarti maka sulit untuk menerapkannya dalam aktivitas sehari-hari.
Orang yang tidak beriman pada Allah SWT dan tidak punya konsep tawakkal saja bisa mempercayai, bahwa ada kekuatan di luar dirinya yang sering mereka sebut sebagai kekuatan alam, yang bisa membantu mereka, sehingga mereka mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan besar. Ketika mereka bisa mencapai hal-hal besar yang hampir mustahil, mereka sering menyebutnya sebagai miracle (mukjizat).
Lalu mengapa umat Islam yang mempunyai keyakinan kepada Allah banyak yang tidak seperti mereka? Padahal orang atheis yang tidak percaya pada Tuhan, dan tidak punya konsep tawakkal bisa melakukan seperti itu? Maka, masalahnya adalah karena mafhûm tawakkal umat ini memang sangat lemah. Karena itu, pemikiran mengenai tawakkal ini merupakan pemikiran yang perlu diluruskan.
Pemikiran Keliru Tentang Tawakkal
Pemikiran keliru yang pertama tentang tawakkal adalah "bahwa dengan tawakkal maka kita tidak perlu lagi berikhtiar. Atau berikhtiar ala kadarnya. Pemikiran seperti ini banyak sekali di benak masyarakat Islam."
Barangkali banyak yang terpengaruh dengan sebuah hadis yaitu “mengikat unta” yang disalahtafsirkan. Hadits ini justru difahami bahwa dengan tawakkal seseorang tidak perlu lagi melakukan hukum kausalitas atau tidak menjadikan hukum sebab-akibat sebagai bagian dari tawakkal sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Hadits tersebut dipahami sebagai pembenaran bahwa setelah bertawakkal seseorang tidak perlu lagi berikhtiar.
Padahal yang benar adalah sebaliknya, ikhtiar dengan tawakkal harus berjalan ber-iringan. Jadi tidak benar kalau kita menggantungkan atau menyerahkan urusan kita kepada Allah, lalu kita bisa bersantai-santai atau berharap Allah akan menyelesaikannya untuk kita tanpa ada usaha dari pihak kita.
Tawakkal kepada Allah SWT. telah dinyatakan dengan tegas oleh nash al-Qur’an yang qath’i. Allah SWT berfirman:
“Jika kamu ditolong oleh Allah, maka tidak akan ada yang mampu mengalahkan dan menghinakan kamu. Maka, siapakah yang dapat menolong kamu setelah (pertolongan) Allah? Dan kepada Allahlah orang-orang yang beriman hendaknya bertawakkal.” (Q.s. Ali Imrân: 160).
“Dan jika kamu mempunyai azam, maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (Q.s Al-Imrân:159).
“Katakanlah (Muhammad): ‘Kami tidak akan ditimpa musibah, kecuali apa yang telah Allah tetapkan kepada kami. Dialah Zat Yang menjadi Pelindung kami. Dan kepada Allah-lah orang-orang beriman hendaknya bertawakkal”. (Q.s. Taubah: 51).
“Allah (adalah Tuhan), tiada Zat yang berhak disembah kecuali Dia, kepada Allah-lah orang-orang beriman hendaknya bertawakkal.” (Q.s. At-Taghâbun: l3).
Itu semua merupakan ayat-ayat yang secara tegas menjelaskan, bahwa melakukan tawakkal kepada Allah itu wajib. Semuanya disertai dengan indikasi yang tegas, yaitu adanya pujian Allah kepada orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya, sebagai orang-orang yang Dia cintai. Disamping dalil-dalil di atas, juga ada dalil-dalil dari hadits yang mewajibkan kaum muslimin melakukan tawakkal kepada Allah, antara lain:
“Akan masuk surga dari kalangan umatku tujuh puluh ribu kelompok tanpa dihisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah mencuri, menjadi peramal, memuji dirinya dan orang-orang yang bertawakkal kepada Tuhannya.”
(H.R. Bukhâri dari Ibn Abbâs).
“Jika kamu bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberikan rizki kepada kamu sama seperti memberikannya kepada burung yang berangkat pagi dengan perut kosong kembali dengan kenyang.”
(H.R. At-Tirmidzi dan Ahmad).
Dengan adanya dalil-dalil di atas, seorang muslim tidak boleh ragu dalam bertawakkal kepada Allah SWT. Apabila ada orang yang tidak mau melakukannya berarti tidak mau menjalankan perintah Allah dan akan jatuh kepada dosa. Apalagi dalam perintah tawakkal kepada Allah tidak ada pengecualian, ia diperintahkan secara mutlak, sehingga setiap muslim wajib bertawakkal kepada-Nya tanpa terkecuali. Adapun hadits Nabi SAW. yang menyatakan:
“Ikatlah untamu, dan bertawakkallah (kepada Allah). . (HR Ibnu Hiban)
Hadits tersebut adalah hadits yang membahas kewajiban melakukan hukum sebab-akibat bersama-sama dengan kewajiban bertawakkal kepada Allah SWT. Isi yang lebih panjang mengenai hadits tersebut adalah berikut :
Badui bertanya,“Apakah unta itu dibiarkan saja depan pintu seraya bertawakkal kepada Allah? Ataukah harus diikat dahulu supaya tidak hilang?” Beliau saw. menjawab: “Ikatlah dan bertawakkal (kepada Allah)." (HR Ibnu Hiban)
Jadi, hadits di atas justru mengajarkan kepada orang Badui ini agar melakukan hukum sebab-akibat disamping bertawakkal kepada Allah SWT. Dengan kata lain, tidak cukup hanya bertawakkal kepada Allah saja, sedangkan hukum sebab-akibatnya ditinggalkan. Adapun hukum sebab-akibat yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah “mengikat unta supaya tidak hilang”. Jika unta tadi tidak diikat pasti akan lari dan hilang. Inilah pelajaran yang dikehendaki oleh Nabi saw. kepada orang Badui tersebut.
Pemikiran keliru yang kedua tentang tawakkal adalah,"Ikhtiar dulu, tawakkal belakangan."
Masih ada satu masalah yang banyak diperdebatkan oleh kaum muslimin; apakah tawakkal kepada Allah SWT dilakukan sebelum melakukan ikhtiar atau sebaliknya? Ada sebagian orang yang menggunakan hadits “Mengikat unta dan tawakkal” tersebut sebagai dalil untuk bekerja dahulu baru kemudian bertawakkal. Mereka melihat urutan dalam hadits tersebut, yaitu “Ikat dahulu dan bertawakkallah.” dimana pernyataan Nabi: “ikat dahulu” adalah wujud sebuah ikhtiar, sedangkan “bertawakkallah” adalah wujud sikap tawakkal kepada Allah SWT. Maka, hadits tersebut kemudian banyak difahami : ikhtiarlah dahulu lalu menyusul tawakkal.
Pemahaman seperti itu perlu dikoreksi kembali.
Pertama, tema pembahasan hadits tersebut adalah tentang pembahasan yang berkaitan dengan kewajiban melakukan hukum sebab-akibat, bukan kewajiban bertawakkal.
Sementara jika ada nash tertentu yang menjelaskan tema pembahasan tertentu berdasarkan sebab wurûd atau sebab nuzûl-nya, maka nash tersebut tidak bisa digunakan untuk menjelaskan makna lain, selain tema pembahasan tersebut.
Kedua, huruf waw dalam lafadz (ikatlah dan berserahdirilah) yang dianggap sebagai waw tartîb (yang menunjukkan urutan perintah) sesungguhnya bukan merupakan huruf waw tartîb, sehingga tidak bisa diartikan “ikhtiar dahulu, baru kemudian bertawakkal”.
Ketiga, jika hadits diatas diartikan seperti yang banyak diasumsikan orang, yaitu ikhtiar dahulu kemudian bertawakkal, maka pengertian tersebut pasti bertentangan dengan ayat al-Qur’an, yang secara qath’i menerangkan:
“Apabila kamu mempunyai azam, maka bertawakkallah kepada Allah.” (Q.S. Ali Imrân: 159).
Dari ayat tersebut didapati bahwa Allah secara tegas menerangkan, bahwa “azam’, “tawakkal” dan “ikhtiar” itu dilakukan secara bersama-sama. “Azam” dan “tawakkal” keduanya merupakan perbuatan hati, sementara “ikhtiar” adalah perbuatan fisik.”
Dengan demikian cara melakukan tawakkal yang sesuai dalil adalah dengan : azam, tawakkal dan ikhtiar secara berbarengan. Jika kita sudah memiliki azam, maka selanjutnya kita bertawakal kepada Allah. Maka dari itu tawakkal selalu menyertai ikhtiar kita di awal ikhtiar, di tengah ikhtiar sampai akhir dari ikhtiar kita. Sambil kita berikhtiar fisik, batin kita senantiasa bertawakal kepada-Nya. Karena ikhtiar itu aktivitas lahiriyah, sementara tawakkal itu aktivitas batiniyah. Keduanya berjalan secara berbarengan satu sama lain.
Dengan pemahaman seperti ini, maka umat Islam akan kuat dalam meraih cita-cita yang ingin dicapainya. Dan semakin tenang hatinya karena ia menyerahkan urusan kepada Zat yang sebaik-baik diserahi urusan. Demikian pembahasan masalah tawakal ini. Mengenai pembahasan tawakkal dengan rezeki secara spesifik insyaAllah akan dipaparkan pada lain kesempatan.
Wallahu a'lam bishowab
Jika Anda tertarik untuk membaca cara tawakal yang dapat melapangkan rezeki, maka Anda bisa mengunjungi pada tautan berikut ini : Tawakkal Untuk Melapangkan Rezeki
Referensi : Islam Politik & Spiritual karangan Hafidz Abdurrahman.
image source : infodakwahislam.wordpress.com